Jariku Hanya Rindu Merangkai Kata

Seperti halnya sungai yang butuh akan airnya, jiwa pun butuh akan teduhnya. Jiwa adalah yang paling tahu apa yang kita mau. Meski terkadang logika kita berusaha mengalihkan. Namun tetap saja ada yang tidak terpuaskan.

Image Source: Liverpool Hope University

Beberapa waktu yang lalu, aku mencoba tegar menatap langit yang tidak lagi cerah. Aku juga belajar untuk bisa bersahabat dengan hujan. Bahkan, aku mencoba untuk tidak merindukan lagi keindahan senja dengan langit jingganya. Ya, mungkin saat itu aku memang sedang tidak baik-baik saja.

Beberapa waktu yang lalu pula, aku membiarkan detik demi detik berlalu tanpa makna. Aku abaikan beberapa kali gagasan yang menjerit minta dituliskan. Aku alpakan juga hal-hal yang seharusnya aku indahkan. Lagi-lagi, hanya karena aku merasa sedang tidak baik-baik saja.

Pikirku, jika saja aku diam, aku akan merasa jauh lebih tenang. Sangkaku, kehampaan itu akan justru lebih menenangkan. Namun rupanya jiwa tidak pernah mengakuinya. Pikiranku hanya berlari ke sana dan ke mari tanpa tujuan yang terarah. Mereka semakin menjadi-jadi hingga melukai diriku sendiri.

Lalu, jiwaku berontak seolah memaksa untuk memperbaiki semuanya. Sebab diriku dulu bukan begini adanya. Jariku sudah tidak lagi ingin diam. Keadaan tidaklah mungkin dibiarkan selalu stagnan. Pikiran yang lalu lalang tidak karuan ini harus bisa diungkapkan, dan aku, sudah seharusnya bisa melihat kembali senjaku.

Menjadi orang yang kecewa karena tidak dapat bertemu dengan aurora rupanya mengecilkan nyaliku. Bahkan membuatku melupakan bahwa aku masih tetap bisa melihat langit yang mengagumkan. Cerah bersama birunya, indah bersama jingganya, dan tenang dalam gelapnya.

Tanpa ku sadari, sudah terlalu lama aku mematung dan terninabobokan oleh kekecewaan. Jatuh bersama ekspektasi tinggi dan justru nyaman berbaring dengan kemalasan. Aku lupa, bahwa langitku selalu menyimpan cerita indah. Tidak peduli apapun warnanya. Meski tidak disertai aurora. Namun tetap indah dan penuh dengan cerita.